

Maluku-Satu | Kawatu, 10/2/2025 |
Narasi tentang Kerusakan Infrastruktur Jalan di Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku
Oleh Herry Wakanno.
Di Kecamatan Inamosol, kabupaten Seram Bagian Barat, jalan bukan sekadar penghubung antar kampung, melainkan medan perjuangan sehari-hari. Jalan-jalan di sini lebih mirip labirin berlubang, berbatu, dan dipenuhi genangan lumpur ketika hujan tiba. Jalan utama yang seharusnya menjadi urat nadi perekonomian dan akses layanan dasar justru menjadi simbol ketertinggalan. Setiap jengkal tanah yang terkelupas, setiap parit yang meluber, dan setiap jembatan kayu yang reyot bercerita tentang isolasi yang dipaksakan oleh alam dan pembangunan yang terlupakan.
Kondisi Jalan: Antara Lumpur, Batu, dan Keterasingan.
Sebagian besar ruas jalan di Inamosol masih berupa tanah keras yang berubah menjadi kubangan raksasa saat musim hujan. Truk pengangkut hasil pertanian kerap terperosok hingga berhari-hari, memutus pasokan komoditas hasil produksi penduduk ke pasar. Di musim kemarau, debu tebal menyelimuti udara, membuat pernapasan menjadi sesak dan penglihatan terhalang. Jalan menuju desa-desa terpencil bahkan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau motor trail. “Kalau hujan deras, kami seperti terkurung. Mau ke puskesmas atau sekolah “Tidak Bisa”.
Dampak Ekonomi: Hasil Bumi Terjebak di Tengah Hutan
Para petani di kecamatan Inamosol adalah korban utama dari infrastruktur yang bobrok. Hasil bumi petani terpaksa dijual dengan harga murah ke tengkulak karena ketiadaan akses ke pasar yang lebih luas. Begitu pula sayuran serta buah-buahan seringkali membusuk, sebab jalur transportasi yang lambat sebelum sampai ke kota. “Dulu sekali ada program perbaikan jalan, tapi hanya sampai batas wacana. Kampung-kampung di pedalaman tetap seperti ditinggal zaman,” ucap , seorang ibu yang mengais rezeki dengan menjual sayur dari kebunnya. Kerugian materi akibat rusaknya jalan diperkirakan mencapai miliaran rupiah per tahun, memupus harapan warga untuk lepas dari jerat kemiskinan.
Akses Layanan Darurat: Nyawa yang Taruhannya.
Kerusakan jalan di Inamosol bukan sekadar masalah ketidaknyamanan, tetapi juga ancaman nyawa. Ketika seorang ibu hamil mengalami komplikasi, tim medis harus berjuang melintasi jalan berliku dengan mobil ambulans yang nyaris tak layak pakai. Banyak kasus pasien gagal diselamatkan karena keterlambatan penanganan. Begitu pula dengan distribusi obat-obatan dan logistik darurat yang seringkali mandek di tengah jalan. “Pernah ada pasien stroke yang harus diusung menggunakan tandu kayu sejauh 10 kilometer karena mobil tidak bisa masuk,” kisah seorang perawat puskesmas dengan suara lirih.
Harapan yang Tertunda di Tengah Janji Pembangunan
Pemerintah setempat sejatinya tak pernah absen mengumbar janji perbaikan jalan. Namun, proyek yang digarap kerap sekadar tempelan: pengerasan jalan tanpa drainase yang memadai, atau pemberian batu koral yang habis tersapu hujan pertama. Masyarakat sudah muak dengan retorika “akan dibangun” tanpa realisasi. “Kami butuh jalan yang benar-benar bisa dilalui sepanjang tahun, bukan sekadar foto proyek untuk kampanye,” protes Yosias, pemuda setempat yang aktif mendokumentasikan kerusakan jalan lewat media sosial.
Di balik keputusasaan, semangat gotong royong warga Inamosol masih menyala. Mereka rutin bergantian membersihkan jalan dari ranting tumbang atau mengisi lubang dengan tanah dan batu secara swadaya. Namun, upaya ini ibarat menahan gelombang dengan ember—hanya bertahan sebentar sebelum masalah yang sama kembali datang.
Infrastruktur jalan yang rusak parah di Inamosol adalah cerminan ketimpangan pembangunan Indonesia. Di balik gemerlap tol trans-Jawa atau jalan nasional beraspal mulus, masih ada ribuan kilometer jalan di Maluku yang dibiarkan menjadi medan penuh risiko. Perbaikan jalan di Inamosol bukan sekadar urusan teknis, melainkan bentuk keadilan bagi masyarakat yang hak dasarnya terabaikan. Hingga aspal berkualitas benar-benar menyentuh tanah Inamosol, jeritan warga akan tetap menggema di antara bukit-bukit Seram yang seolah bisu menyaksikan penderitaan mereka. (Heey Wakano)